Selasa, September 21, 2010

APA ITU SURGA

Pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulut Suti. “Surga itu tempat atau rasa, sih, Pak?” Pak Ramadan, si ayah yang ditanya, tak segera memberikan jawaban. Hening beberapa detik. Tapi tak lama, di meja makan itu, suasana keluarga Pak Ramadan kembali riuh. “Ah, sudahlah. Habiskan saja makannya,” ujar Pak Ramadan, tanpa memberi jawaban apa-apa atas pertanyaan Suti. Suti juga tak protes, cuma memoncongkan bibirnya. Agaknya pertanyaan itu keluar tanpa ia sengaja, keceplos begitu saja.

Secuil adegan ini muncul dalam sebuah film televisi berjudul Sulam, besutan sutradara Chaerul Umam. Ide cerita diambil dari salah satu cerpen Ahmad Tohari, pesastra terkenal pemilik trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, yang juga pengisi salah satu rubrik majalah ini. Suti mulanya bercerita tentang Sulam, seorang tetangga yang dinilai “kurang waras”. Sulam ingin mendapatkan hadiah Lebaran dari keluarga Pak Ramadan berupa baju berwarna hijau. Hanya hijau, Sulam tak mau menerima jika baju hadiahnya berwarna lain.

Suti penasaran. Sebab, ketika suatu kali Sulam dihadiahi baju berwarna merah, Sulam benar-benar menolak. “Kenapa sih Lam, harus hijau?” tanya Suti. “Pokoknya harus hijau. Hijau itu… surga,” jawab Sulam. Dan begitulah, Suti terus bercerita tentang Sulam yang menggunakan jurus “pokoknya” itu. Tapi, apa benar surga itu hijau? Tiba-tiba Suti nyerocos. Disusul kemudian pertanyaan yang, meminjam istilah anak muda sekarang, dalem banget itu, “Surga itu tempat atau rasa, sih?”

Barangkali banyak orang akan dengan mudah menjawab pertanyaan Suti itu. Surga itu, ya, tempat. Wong Al-Quran sendiri sudah sangat jelas mendeskripsikan apa dan bagaimana surga. Surga, yang dalam bahasa Al-Quran disebut jannah, digambarkan sebagai sebuah tempat yang memiliki sungai-sungai dengan mata air yang jernih. Jannâtin tajri min tahtihal anhâr, surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, begitu susunan kata-kata di puluhan ayat Al-Quran. Sementara kata jannah sendiri dalam Al-Quran disebut lebih dari 200 kali.

Surga juga digambarkan seperti sebuah istana kerajaan yang megah. Penghuninya bergelimang kemewahan. Seperti disebut dalam al-Kahfi: 31 yang melukiskan surga ‘Adn, “…mengalirlah sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu, mereka (penghuni) dihiasi dengan gelang emas, dan memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah.” Membayangkan surga jadi seperti membayangkan sebuah istana seorang sultan yang megah: ada taman-taman yang indah, perhiasan emas berkilauan, sofa yang empuk dengan desain luar biasa artistik, pakaian sutera… ya, berwarna hijau!

Dan, sebuah istana biasanya dihiasi dengan dayang-dayangnya yang cantik atau, seperti dalam kisah-kisah seribu satu malam, harem-harem manis nan molek. Begitu pula surga dilukiskan, bidadari-bidadari jelita senantiasa memperelok keindahan surga. ”Di dalam surga itu, ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka…” demikian al-Rahman: 56. “…yang jelita, indah matanya, terlindung dalam rumah.” Lalu pada al-Waqi’ah: 22-23, “…ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan dengan baik.”

Di surga, sebagaimana digambarkan Al-Quran, minum-minuman dan buah-buahan juga dilukiskan seperti di pesta-pesta para sultan, atau di kebun-kebun istana. Para penghuni surga meminum anggur banyak-banyak, tapi tidak mabuk. Ada juga susu, madu, dan aneka macam minuman lainnya. Buah-buahan tak pernah berkurang. Di kebun, jika dipetik satu buah, segera tumbuh lagi, terus-menerus. Para penghuni surga memakan buah-buahan itu, dan tidak mengenal bosan.

Begitulah, Al-Quran selalu melukiskan surga secara mendetail, sebuah tempat nun di sana, jannatin na’im, yang penuh kenikmatan. Ya, kenikmatan. Tapi, di manakah letak kenikmatan? Bagi orang yang biasa hidup di gurun, di mana sumber air sangat langka, berjumpa sungai dengan mata air jernih adalah sebuah kenikmatan luar biasa. Tetapi, bagi orang yang hidup di Pulau Kalimantan, misalnya, di mana sungai sangat mudah dijumpai, bahkan jadi pemandangan utama, dan sumber air juga gampang ditemui, aliran sungai bukanlah sebuah kenikmatan agung, apalagi kemewahan.

Barangkali bagi orang gurun pula, yang menghadapi terik matahari sepanjang hari, sebuah tempat teduh akan terasa begitu nikmatnya. Zhillin mamdud, kata Al-Quran, naungan teduh yang terbentang luas. Namun, bagi orang yang hidup di daerah dingin, di mana hari-hari hanya salju yang terlihat, orang di dataran Eskimo, misalnya, sebuah tempat teduh menjadi sama sekali tak mengesankan. Lalu, apakah di surga kelak, orang Pulau Kalimantan, atau orang Eskimo, tak merasakan nikmat apa-apa alias hambar-hambar saja?

Jadi, surga itu tempat atau rasa? Wallahu a’lam, Allah sajalah Yang Mahatahu. Tapi, ada satu pendapat yang rasanya sangat masuk akal. Begini pendapat itu. Al-Quran tak hanya memakai bahasa-bahasa indah, tapi juga bijak. Tentang surga, Al-Quran sebenarnya hendak melukiskan sebuah kebahagiaan tiada tara. Dan, lantaran yang disapa adalah orang Arab yang memiliki kebudayaan tertentu, dengan kondisi sosio-grafis tertentu pula, Al-Quran sangat bijak: memilih metafor-metafor yang dikenal sangat dekat dengan mereka.

Mudahlah dipahami mengapa Al-Quran sangat menyukai kalimat tajrî min tahtihal anhâr, surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Dengan kata-kata ini, yang disapa akan cepat menangkap, betapa nikmatnya surga, betapa bahagianya hidup di sana. Keindahan dan kemegahan setting surga pun dilukiskan Al-Quran dengan mempertimbangkan memori masyarakat yang disapa: istana, aksesori, pepohonan, buah-buahan, dan sebagainya. Kecantikan bidadari-bidadari juga digambarkan seturut konsepsi kecantikan yang hidup di tempat Al-Quran diturunkan.

Sehingga bisa dikatakan, gambaran-gambaran surga dalam Al-Quran itu tak lain merupakan cara, iya, cara, untuk mengkomunikasikan betapa indahnya surga, betapa nikmat dan bahagianya hidup di sana. Kalau gambaran surga dalam Al-Quran bersifat fixed, artinya seperti itu adanya, tentu akan muncul banyak pertanyaan. Orang kulit hitam akan bertanya, “Bidadari di surga apakah tidak ada yang berkulit hitam?” Kaum perempuan akan gelisah, “Apa di sana tidak ada pangeran gagah, kok Al-Quran cuma menyebut bidadari cantik?”

Yang lain juga akan mencecar. “Saya suka teknologi, apakah di sana semua sistem sudah serba digital?” “Saya suka buah salak, apel malang, apa di surga cuma ada kurma?” “Karena saya pecinta lingkungan, saya tak suka baju dari sutera.” “Saya sudah biasa dengan air jernih, sungai, pepohonan, saya ingin salju, apa di surga ada salju?”

Semua orang ingin merasa bahagia di surga, tapi khawatir tidak bahagia, karena hal-hal yang membuatnya bahagia tak tergambar dalam Al-Quran. Padahal, Allah menjamin, surga ciptaan-Nya akan membuat semua penghuninya merasakan kebahagiaan tiada tara. Jadi, surga itu tempat atau rasa? Ah, pertanyaan Suti berdengung kembali.*

(Ditulis kembali dari : Majalah syir`ah januari thn 2006)

Tidak ada komentar: